Ketika Para Kriminal Cuci Tangan Lewat Sepakbola

Ahmad Zuhhad
5 min readOct 24, 2021

--

Kesuksesan Chelsea dan Manchester City membuat banyak fans sepakbola berharap ada investor kakap yang mengakuisisi klub favoritnya. Namun, ada yang luput diperbincangkan saat miliuner menggelontorkan uangnya di industri sepakbola.

Sumber foto: pxfuel.com

Newcastle United pernah nyaris juara Liga Inggris di musim 1995–1996 dan 1996–1997. Selama dua musim, The Magpies bersaing ketat dengan Manchester United meski akhirnya cuma berakhir di posisi ke-2. Setelahnya, klub ini mundur teratur dari kancah persaingan Liga Inggris, bahkan sempat terdegradasi ke Divisi Championship.

Menjelang berakhirnya musim 2019–2020, kabar mengejutkan menyambangi kubu Newcastle United. Sebuah konsorsium investor dikabarkan siap mengambil alih klub tersebut dengan mahar 300 juta paun. Nama Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman ada di jajaran konsorsium

Investor besar bukan hal asing dalam semesta kompetisi sepakbola Inggris. Miliarder Roman Abramovich dan anggota keluarga Kerajaan Abu Dhabi Syekh Mansour sudah terlebih dahulu datang mengubah sekujur tubuh sepakbola Inggris. Kedua investor itu datang membawa setumpuk uang dan mengangkat klub sepakbola yang mereka beli. Kini Pangeran Mohammed bersama korporasi investasi PCP Capital Partner dan perusahaan real estate Reuben Brother sedang meminang Newcastle.

Kedatangan investor-investor besar ini berarti perubahan. Geordie, pendukung Newcastle United sudah menantikan itu sejak lama. Di tangan pebisnis Inggris Mike Ashley, performa Newcastle tak pernah bisa menyamai pencapaian pada pertengahan dekade 1990-an. Sejak 2007 mereka bahkan pernah mencicipi degradasi dua kali ke divisi Championshiop.

Sebuah survei yang diadakan Newcastle United Supporters Trust pada April 2020 menunjukkan bahwa 96,7% fan Newcastle mendukung kedatangan pemilik baru. Penikmat sepakbola Inggris sudah melihat kesuksesan Abramovich serta Syekh Mansour mendongkrak prestasi Chelsea dan Manchester City di ajang kompetisi lokal.

Bagaimanapun, proses pembelian Newcastle berjalan berlarut-larut. Belakangan salah satu isu penghambat pembelian adalah siaran ilegal Premier League. Laporan World Trade Organization (WTO) menunjukkan Arab Saudi dan Pangeran Mohammed dianggap gagal menuntaskan persoalan tersebut.

Namun, laporan Daily Mail menyebut perbincangan tentang pengambilalihan makin mendekati titik temu. Pemerintahan Inggris juga menyatakan tidak akan mengintervensi proses pengambilalihan terkait isu pembajakan siaran Premier League.

Rekam jejak investor

Di balik keriuhan ini, ada satu isu yang jarang diperbincangkan: rekam jejak para investor. Aktivis dari organisasi hak asasi manusia Amnesty International menganggap pembelian Newcastle adalah salah satu langkah cuci tangan penguasa Arab Saudi atas pelanggaran HAM di dalam negeri.

“Arab Saudi mencoba menggunakan prestise dan keglamoran sepakbola Premier League sebagai alat humas untuk mengalihkan pandangan dari rekam jejak HAM yang lebur di negara itu,” kata Felix Jakens, Kepala Kampanye Amnesty International Inggris.

Jakens merujuk pada fenomena bernama sportswashing. Menurut akademisi Inggris César Jiménez-Martínez dan Michael Skey, istilah itu bermakna “mencuci citra dan reputasi global sebuah negara”. Penggunaan istilah ini adalah alternatif dari istilah ilmu politik “soft power” yang secara luas berarti “sebuah cara mencapai target melalui kekuatan atraksi dibanding melalui kekuatan militer dan ekonomi.” Saluran kekuatan ini bisa berupa film, musik, ketenaran universitas, dan olahraga.

Jiménez-Martínez dan Skey berpendapat, sportswashing dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kompetisi olahraga internasional seperti Olimpiade atau Piala Dunia. “Acara macam itu sebenarnya secara sementara dapat menjatuhkan pandangan kritis pada sebuah pemerintahan,” tulis Jiménez-Martínez dan Skey.

Kecenderungan untuk ‘membebaskan’ olahraga dari politik membuat negara-negara memanfaatkan acara-acara sejenis yang menyedot sebagian besar perhatian media.

Tindakan sportswashing bagi Arab Saudi sendiri bukan baru-baru ini saja dilakukan. Sejak November 2016 Pangeran Mohammed bin Salman mulai melakukannya dengan mendirikan yayasan Sports Development Fund. Pada 2018 Arab Saudi juga melakukan kampanye lobi agresif untuk mendekati organisasi-organisasi penyelenggara kompetisi olahraga di Amerika Serikat, seperti Major League Soccer (MLS), Major League Baseball (MLB), National Basketball Association (NBA), World Wrestling Entertainment (WWE).

Isu sportswashing yang dilakukan Arab Saudi terkait pembelian Newcastle menemui banyak sikap skeptis. Menurut Profesor Bisnis Olahraga Inggris Simon Chadwick, pembelian Newcastle malah menyedot perhatian khalayak terkait latar belakang sang investor.

Meski tidak menihilkan fenomena sportswashing, Chadwick menyarankan untuk melihat konteks lebih luas. Ia lebih menyoroti sisi ekonomi Arab Saudi sebagai “rentier state”, yaitu negara yang menghasilkan pendapatan dengan banyak berinvestasi di luar negeri.

Di luar itu, perbincangan terkait sportswashing mengingatkan bahwa olahraga tak bisa lepas dari konteks sekelilingnya. Sudah sejak lama berbagai cabang olahraga, seperti sepakbola dimanfaatkan untuk menutupi berbagai borok. Selain menutupi rekam jejak buruk pemerintah, sepakbola juga kerap digunakan untuk menutupi kejahatan pribadi dan perusahaan.

Mencuci Uang dan Kejahatan Finansial

“Klub sepakbola memang dilihat oleh para kriminal sebagai kendaraan sempurna untuk mencuci uang,” tulis sebuah laporan dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Sepakbola bukan satu-satunya sarana mencuci uang para kriminal. Para kriminal juga menunggangi ajang olahraga lain seperti balap motor, kriket, dan basket. Namun, skala cuci uang di sekitar sepakbola begitu besar dibanding cabang olahraga lain secara global. Dengan jumlah penggemar mencapai kisaran 3,3–3,5 miliar orang, kepopuleran sepakbola mengalahkan kriket dan basket. Pada 2006 sekira 265 juta orang adalah pemain sepakbola di mana 38 miliar di antaranya adalah pemain terdaftar. Jumlah klub di penjuru dunia mencapai 301.000

Sejak komersialisasi pada awal 1990, uang yang dikucurkan ke lapangan sepakbola melonjak mengikuti kenaikan hak siaran dan sponsor. Gelombang uang yang beredar di sekitar sepakbola begitu besar sehingga sulit diawasi. Struktur, pembiayaan, dan budaya sepakbola adalah lahan subur bagi kejahatan finansial, tulis laporan OECD.

Laporan dari Transparency International berjudul “Unfit, Improper Ownership in UK Football Clubs” dapat memberi contoh terbaik bagaimana celah di seputar kompetisi sepakbola mudah dimanfaatkan para kriminal. Pebisnis dan mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra hendak membeli Manchester City pada 2007 di tengah tudingan korupsi dan pelanggaran HAM. Ia bisa lolos dari Fit and Proper Test dari Premier League dan resmi menjadi pemilik Manchester City karena dianggap belum terbukti bersalah di pengadilan. Belakangan, ia terbukti bersalah dalam kasus korupsi, tetapi berhasil meraup untung 20 juta paun setelah menjual klub itu kepada Syekh Mansour di 2008.

Modus kejahatan di sekitar sepakbola sangat beragam. Setidaknya ada tujuh modus kejahatan pencucian uang di seputar klub sepakbola. Investor kriminal dapat menghilangkan jejak uang haram dengan mencetak struk pembelian tiket palsu dan mencampur uang haram bersama uang penjualan tiket.

Uang haram juga digunakan untuk membeli pemain di mana biaya transfer di atas kertas didongkrak jauh dari uang yang benar-benar dibayarkan. Investor mendapat untung ketika menjual pemain itu dengan harga lebih mahal di kemudian hari.

Pengaturan skor dan perjudian juga menjadi modus menarik untung dari sepakbola. Pemilik klub atau pelaku kriminal dapat menyogok pemain untuk menghasilkan pertandingan dengan skor spesifik. Para pelaku mendapat untung dengan memasang taruhan di agen judi. Praktik macam ini sangat sering terjadi di Asia. Para pelaku biasanya datang ke sebuah klub yang hampir bangkrut, bertindak seakan seorang juru selamat.

Para pelaku kejahatan finansial bisa datang dari para investor pemilik klub, pemilik media dengan hak siaran pertandingan, pemain sepakbola, hingga agen pemain.

Banyak orang menganggap sepakbola sebagai eskapisme, sarana untuk melupakan sejenak kehidupan yang keras dan brutal. Tapi selamanya sepakbola tak bisa lepas dari ekonomi politik di sekitarnya. Bahkan, sisi paling gelap sepakbola menunjukkan, permainan ini dengan mudah jadi ajang para kriminal lepas dari jeratan hukum serta menarik untung lebih banyak.

Pernah dimuat di haluan(dot)co pada 27 Juni 2020

--

--

Ahmad Zuhhad
Ahmad Zuhhad

Written by Ahmad Zuhhad

Pengikut tidak setia Tom Sawyer

No responses yet